Menurut legenda orang sabu nenek moyang orang sabu datang dari negri yang jauh yang di sebut sebagai berikut "bou dakka ti dara dahi, agati kolo rai ahhu rai panr hu ude kolo robo", yang berarti ,orang yang berasal dari negri yang jauh.tempat tersebut adalah (HINDIA) lalu bermukim di sabu (sabu raijua)
- Dan orang pertama yang bermukim di pulau sabu adalah kika Ga (kaka) Jape Ga (adik) dari kedua kk beradik inilah sehingga ada nya orang sabu (DOHAWU) yang ada sekarang. Nama Rai Hawu atau pulau Sabu berasal dari nama kika ga dan, saudara ja pega, yang juga salah satu leluhur mereka.Masyarakat suku Sabu berbicara dalam bahasa Sabu. Bahasa Sabu sendiri termasuk kelompok bahasa Bima-Sumba dari Nusa Tenggara Barat. Bahasa Sabu mencakup dialek Raijua (di pulau Raijua), Mesara, Dimu dan Seba atau Habba
Dalam tradisi agama tradisional Jingitiu, menerapkan ketentuan hidup adat atau uku, yang konon dipercayai mengatur seluruh kehidupan manusia dan berasal dari leluhur mereka. Semua yang ada di bumi ini Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo Ama atau Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan membentuk mancipta). Deo Ama sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan mereka di bawah Deo Ama terdapat berbagai roh yang mengatur kegiatan musim seperti kemarau oleh Pulodo Wadu, musim hujan oleh Deo Rai.
Pembersihan setelah ada pelanggaran harus dilakukan melalui Ruwe, sementara Deo Heleo merupakan dewa pengawas supervisi. Upacara adat yang dilakukan harus oleh deo Pahami, orang yang dilantik dan diurapi. Upacara dilakukan dengan sajian pemotongan hewan besar. Kegiatan setiap upacara berpusat pada pokok kehidupan yakni pertanian, peternakan dan penggarapan laut. Karena itu selalu ada dewa atau tokoh gaib untuk semua kegiatan, termasuk menyadap nira. Kegiatan pada musim hujan berfungsi pada tokoh dewa wanita “Putri Agung”, Banni Ae, disamping dewa pemberi kesuburan dan kehijauan Deo manguru. Karena sangat bergantung pada iklim. Mereka memiliki 3 makluk gaib yakni liru balla(langit), rai balla (bumi) dan dahi balla (laut). Masyarakat Sabu juga memiliki pembawa hujan yaitu wa lole (angin barat), lou lole (selatan) dan dimu lole (timur). Dalam kepercayaan Jingitiu, banyak dewa atau tokoh gaib sampai hal yang sekecil-kecilnya seperti petir dan awan. Lalu ada dewa mayang pada usaha penyadapan nira, dewa penjaga wadah penampung (haik) malah sampai haba hawu dan jiwa hode yang menjaga kayu bakar agar cukup untuk memasak gula Sabu.
Kampung masyarakat Sabu memiliki Uli rae, penjaga kampung, kemudi kampung bagian dalam gerbang Timur (maki rae) disebelahnya, serta aji rae dan tiba rae, (penangkiskampung) sama-sama melindungi kampung. Oleh karena itu setiap rumah dibangun harus dengan upacara untuk memberi semangat atau hamanga dengan ungkapan wie we worara webahi (jadikanlah seperti tembaga besi. Dalam setiap rumah diusahakan tempat upacara yang dilakukan sesuai musim dan kebutuhan, karena semua warga rumah yang sudah meninggal menjadi deo ama deo apu (dewa bapak dewa leluhur) diundang makan sesajen. Demikian juga terhadap ternak, selalu ada dewa penjaga, disebut deo pada untuk kambing serta dewa mone bala untuk gembalanya. Tetapi selalu ada saja lawannya. Karena itu, ada dewa perussak yang kebetulan tinggal dilat yakni wango dan merupakan asal dari segala macam penyakit. Hama tanaman, angin ribut dan segala bencana. Karena itu, harus dibuat upacara khusus untuk mengembalikannya ke laut supaya masyarakat terhindar dari berbagai bencana walaupun ada kepercayaan bahwa sebagai musibah itu merupakan kesalahanmanusia sendiri yang lalai membuat upacara adat. Umpamanya jika tidak membuat upacara untuk sang banni ae, maka sang putri ini akan memeras payudaranya yang menimpa manusia menimbulkan penyakit cacar.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sabu hidup dalam kekerabatan keluarga batih (ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu. Beberapa batih yang bersekutu dalam suatu upacara adat adalah keluarga luas, huwue kaba gatti, dengan memiliki rumah adat sendiri berketurunan satu nenk atau Heidau Appu. Klen kecil disebut Hewue Kerogo, merupakan gabungan beberapa Udu Dara Ammu. Keturunan dua atau tiga nenek bersaudara, beserta cucu dan keturunannya dipimpin Kattu Kerogo. Klen besar disebut Hewue Udu dipimpin oleh banggu Udu.Secara struktural dalam strata masyarakat dikenal kedudukan tertinggi Hewue Dara Ammu dengan pimpinannya Kattu Udu Dara Ammu yang memimpin upacara, mengatur norma kehidupan, menjaga kesatuan dan persatuan keluarga. Ia pemimpin yang pandai dan bijaksana berperan penting dalam kehidupan masyarakat.
RUMAH ADAT SABU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar